Friday, November 9, 2018

Becoming Apoteker Puskesmas? Why Not !

Hari kedua masih dalam pertemuan yang diadakan Dinas Kesehatan Provinsi Banten di Hotel Marilyn Serpong. Pembicara yang dihadirkan dari Padang langsung berhasil menghadirkan pumping semangat untuk Apoteker. Beliau adalah Apoteker Hellen, Ketua Bidang Peningkatan Mutu Kefarmasian Hisfarkesmas Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia. Tak hanya itu saja, beliau juga menjabat sebagai Ketua Hisfarkesmas Pengurus daerah Ikatan Apoteker Indonesia Provinsi Sumatera Barat dan Koordinator Bidang Humas PD Persaudaraan Muslimah (Salimah) Kota Pariaman. Riwayatnya sudah malang melintang sebagai narasumber Peningkatan Mutu Pelayanan Kefarmasian, Pemberian Informasi Obat (PIO) Konseling serta narasumber Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat (GeMa CerMat). Pernah juga dinobatkan sebagai Tenaga Kesehatan Teladan Kota Pariaman ditahun 2014. 



Paparan pertama beliau adalah tentang Implementasi Standar Pelayanan Kefarmasian Puskesmas, yang bertujuan agar pelayanan farmasi di Puskesmas berkualitas. Maka proses akreditasi menjadi proses pembelajaran,  agar Farmasis di Puskesmas berkualitas sehingga obat tak sekedar diserahkan begitu saja, penyerahan juga disertai pemberian informasi obat, konseling atau bahkan home pharmacy care, agar yang farmasis berikan benar-benar berkualitas. 

Bicara tentang Standar Pelayananan Kefarmasian di Puskesmas, akan diingat program pokok dari Puskesmas adalah promotif dan kuratif.  Puskesmas bertanggungjawab pada kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016 tidak ada aspek pemberdayaan masyarakat, tapi karena farmasis di puskesmas maka ia haruslah melibatkan diri dalam program promotif dan preventif. Kegiatan yang dapat dilakukan seperti GeMa CerMat, penyuluhan tentang obat dan pemberian informasi obat. 


Apoteker di Puskesmas dahulu berorientasi obat berkisar pada manajemen pengelolaan adminsitrasi dan pencatatan  obat saja, pengawasan keluar obat tidak terlalu diawasi dan proses audit belum banyak. 

Kini, karena obat merupakan aset, adanya pemeriksaan BPK atau Inspektorat, maka apoteker sebagai manajer yang bertanggungjawab  menyiapkan dokumen pemeriksaan tersebut. Dimasa kini juga sudah sampainya kajian kerasionalan obat yang diresepkan, banyaknya kini regulasi-regulasi yang mengatur tentang pelayanan  farmasi di puskesmas seperti Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016. Disebutkan didalamnya bahwa pelayanan dilakukan oleh tenaga ahli di bidang obat. 

Tetapi terdapat keterbatasan Sumber Daya Manusia di puskesmas, jumlah tenaga farmasi di puskesmas sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Hal inilah yang menjadikan pelayanan farmasi di puskesmas masih dipegang oleh tenaga non farmasis. Ini pulalah yang melatarbelakangi terbentuknya Hisfarkesmas untuk advokasi posisi tenaga farmasis di puskesmas, sehingga tenaga farmasi di Puskesmas dapat dilengkapi dan pelayanan farmasi dilakukan dengan orientasi pada pasien. 





Dalam Permenkes Nomor 74 tahun 2016 pelayanan farmasi dilakukan diruang farmasi dengan apoteker sebagai Penanggungjawab dan pelayanan wajib mengikuti standar yanfar di puskesmas. Apoteker memegang fungsi manajerial agar berlangsungnya pelayanan farmasi di puskesmas berujung pada patient safety. 

Apoteker juga menjalankan fungsi farmasi klinik dalam kajian obat. Ini merupakan pekerjaan spesifik yang dapat dilakukan oleh tenaga farmasi, tugas seorang Apoteker tidak melulu hanya  mengambil obat saja. Tapi ambilah peran Apoteker dalam kegiatan pengeluaran obat luar gedung di Puskesmas Keliling (Pusling). 

Apoteker di Puskesmas dapat menjalankan perannya dalam pengelolaan obat kadaluarsa, dengan membuat tabel bulanan setahun yang di kolom bulannya berisi nama obat yang akan kadaluarsa. 

Masa dahulu obat diberikan tanpa informasi obat, tetapi kini saat pelayanan berorientasi pada pasien, obat diberikan lengkap penjelasannya, jangan sampai pasien pulang masih saja bingung dengan obat yang akan dikonsumsinya.

Konseling juga perlu dilakukan oleh Apoteker di Puskesmas. Kegiatan Konseling bisa menjadi pembeda antara Puskesmas yang dilengkapi oleh apoteker dengan yang tidak ada apoteker. Dilengkapi nantinya dengan dokumentasi dan pelaporan yang perlu dikaukan secara rutin ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Form pemberian PIO dan konseling didapat dari Permenkes tentang Standar Pelayanan Kefarmasian. Kegiatan farmasi klinik ini dapat dilakukan optimal  jika SDM juga memadai. Konseling dapat dilakukan, dengan tahap awal menggali  informasi dari pasien, siapkan ruang atau space yang nyaman untuk konseling, pendampingan minum obat (PMO). Sarana yang dimiliki sebaiknya ada ruang racik, ruang penyerahan obat, ruang konseling. Pun, jika ruang ini tidak adapun bisa dibuat area saja. Lakukanlah konseling sebisa mungkin walaupun hanya 3 pasien diikuti perkembangan penyakitnya, ketika ia patuh dan terlihat perkembangan kesembuhannya itulah keberhasilan dan kepuasan kita sebagai farmasis. 

Apoteker harus menghadirkan sesuatu yang berbeda, agar dirasa ada dan tiadanya apoteker. 

Implementasi pelayanan farmasi sesuai standar dapat dilakukan dalam kegiatan : 
1. Dokumentasi 
Dokumentasi pencatatan penting dilakukan agar memberikan bukti dan kepastian hukum bagi tenaga farmasi dan pasien, dapat dijadikan pedoman dan rujukan pelayanan kefarmasian selanjutnya, data dapat digunakan untuk penelitian dan untuk mengetahui riwayat penyakit pasien. Form dokumentasi dapat dilihat di Permenkes acuan Standar Pelayanan Farmasi

2. Konseling Obat 
disiapkan ruang obat sederhana untuk "bermesraan" antara farmasis dengan pasiennya. Untuk mendengar keluhan pasien karena Terkadang penyakit tidak selalu disembuhkan dengan obat. Diperlukan kemampuan apoteker menjadi pendengar dari masalah pasien. Contoh saja terdapat pasien yang selalu ke Puskesmas dengan diagnosa gastritis, setelah digali ternyata ia memiliki masalah yang selalu dipikirkan yang menyebabkan naiknya asam lambungnya. Apoteker dapat memberi saran pada pasien agar hidup sehat dan mengikuti kegiatan senam rutin/ senam prolanis. 

Disinilah peran penting Promotif apoteker dijalankan !!

Banyak permasalahan ditengah masyarakat, menjadikan alasan bagi Apoteker untuk hadir memberikan pencerahan pada masyarakat.

3. Visite

4. Kolaborasi lintas profesi dalam penanganan Prolanis 

5. Survey atau Penelitian sederhana misalnya untuk melihat apakah pemberian informasi obat sudah      benar dan memberi efek pada masyarakat. Bisa juga dibantu oleh Mahasiswa

6. Pemberdayaan Masyarakat, apoteker harus ikut serta dalam pemberdayaan masyarakat dalam hal         penggunaan obat, seperti :

a. Sosialisasi GeMa CerMat pada kader  posyandu, tokoh masyarakat, Ormas, Guru 
b. Sosialisasi GeMa CerMat dan Edukasi 5O   menggunakan metode CBIA pada masyarakat
c.Mencetak poster atau leaflet GeMa CerMat
d. Penyuluhan di dalam atau diluar gedung 
e. Sosialisasi GeMa CerMat lewat radio
f. Membuat komik edukasi tentang penggunaan obat
g. Menulis edukasi penggunaan obat di blog
h. Menulis artikel di web IAI, e-apoteker terkait kefarmasian 




Kegiatan dan dokumentasi kegiatan, dapat dijadikan bahan advokasi ke Dinas Kesehatan untuk menyampaikan peran apoteker untuk nantinya dapat dianggarkan program kegiatan terkait kefarmasian. 

Teman-Teman Apoteker Munculkanlah kreasi-kreasi terkait penggunaan obat sesuai hobi yang kita senangi, misalnya dengan membuat Jingle, komik, cerpen, tulisan atau lainnya tentang obat. 
Apoteker teruslah memikirkan hal-hal yang dapat dilakukan untuk pemberdayaan masyarakat tentang obat. 

Pesannya, Selalulah membangun semangat, memaknai amanah dan berjuanglah dimana kita ditempatkan. 






========================================================================









Thursday, November 8, 2018

Catatan Dua Hari Di Marilyn : Day 1 Peningkatan Mutu Pelayanan Kefarmasian

Selasa, 30 Oktober dimulai agenda pertemuan  yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Acara yang berlangsung selama dua hari ini mengambil judul Pembekalan Tenaga Kesehatan di Kabupaten/Kota tentang Perizinan Apotek dan Toko Obat serta Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Focusly tentang pelayanan kefarmasian disarana sarana farmasi. 

Pemaparan pertama disampaikan oleh Apoteker Apriandi yang menyampaikan tentang Peningkatan Mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dan Apotek. Salah satu paradigma sehat dalam rangka Pembangunan Indonesia sehat adalah dengan Penguatan Pelayanan Kesehatan dengan program peningkatan akses juga mutu pelayanan kesehatan. Dijadikan sebagai indikator tersebut adalah dengan adanya minimal satu puskesmas terakreditasi disetiap kecamatan dan rumah sakit yang terakreditasi di suatu Kabupaten/Kota. Sebuah keniscayaan yang berbarengan dengan akreditasi yaitu dilakukan peningkatan akses ke sarana prasarana kesehatan, peningkatan kompetensi Sumber Daya Manusia dan alat kesehatan. Tujuan akhir kesemuanya tak lain adalah agar terwujudnya akses Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan yang berkualitas bagi masyarakat. 

Pelayanan kefarmasian merupakan faktor penting yang ada dalam pelayanan kesehatan dasar. Dalam Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 kriteria pelayanan kefarmasian yaitu pelayanan langsung dan bertanggungjawab, berkaitan dengan sediaan farmasi dan bertujuan meningkatkan mutu kehidupan pasien. 

Dalam Pelayanan Kesehatan dikenal Swiss Cheese Model, kesalahan beruntun (Hazards) yang dapat mengakibatkan kesalahan di ujung tombak (Looses). Diambil contoh, Riwayat alergi obat tidak tercatat. Penulis resep menuliskan resep obat yang pasien alergi terhadapnya, tahap lanjutnya Apoteker tidak menggali riwayat alergi pasien. Dan diakhir perawat memberikan obat yang pasien alergi terhadapnya. Akhirnya pasien mengkonsumsi obat yang pasien alergi terhadapnya, manisfestasinya adalah munculnya reaksi alergi obat pada pasien. 





oleh karena hal tersebut diatas dibutuhkannya Standar Pelayanan Kefarmasian. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai Pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Standar ini dibuat dengan tiga tujuan yaitu, meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). 

Acuan yang diberikan pemerintah untuk pelayanan kefarmasian di sarana apotek ada dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 73 tahun 2016 sedangkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 74 tahun 2016 mengatur tentang Standar Pelayanan Farmasi di Puskesmas serta Peraturan menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Pelayanan Kefarmasian di rumah Sakit.

Standar ini meliputi tahapan dalam Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta Pelayanan Farmasi Klinik. 
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai meliputi :
1. Perencanaan
2. Pengadaan 
3. Penerimaan 
4. Penyimpanan
5. Pemusnahan
6. Pengendalian 
7. Pencatatan dan Pelaporan 

Untuk Pelayanan Farmasi Klinik meliputi : 
1. Pengkajian resep
2. Dispensing 
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
4. Konseling 
5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Dokumentasi khususnya dalam pelaksanaan pelayanan farmasi klinik (Pemberian Informasi Obat dan Konseling) perlu dilakukan untuk kemudian dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan sebagai data yang menjadi acuan saat akan dibuatnya suatu kebijakan. 

Apoteker berperan sangat penting dalam pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian disarana, dalam hal Manajerial umum, teknikal dan public health tiada lain dengan tujuan patient safety











Realize a real

Jika lamat lamat senja mengantarkan kata perpisahan  Disitulah sebenarnya rindu menjadi satu bersama sendu  Perihalnya tak nya...