Desa Kalisari Kebumen 21.00 WIB, Aida masih termangu diam
tak bergeming, pendar cahaya bulan terlihat dari balik lembar-lembar daun pohon
jati yang terletak didepan bagian kanan rumahnya. Suara jangrik saja yang
terdengar dan sayup-sayup suara janengan
terdengar dari mikropon yang sudah usang, suaranya gemeresek
Pembicaraan Aida dengan sahabat sejak kecilnya, Sulastri ba’da
magrib tadi masih saja terpikirkan olehnya. Sulastri datang dengan mata sembab
dan badan yang tampak letih, jilbab biru yang dipakainya tak rapih, beberapa
lembar rambutnya menempel dipipi terlihat keluar, sepertinya dia memakainya
dengan terburu-buru.
Sulastri, baru saja membina rumah tangga, biduknya baru
seumur jagung kalau orang bilang. Isro, pria yang berasal dari desa sebelah
dipilihnya untuk menjadi pasangan hidup.
Kendati ibunda Sulastri pada awalnya tak setuju akan hubungan keduanya. Mengingat pria tersebut bukan kali pertama
menikah. Pernikahan pertamanya mengalami kegagalan dikarenakan perihal KDRT yang dilakukan kepada pasangannya dulu dan
juga hobinya berjudi sabung ayam.
Tapi, entah rayuan macam apa atau puisi karya siapa yang
dibacakan Isro kepada Sulastri hingga Sulastri bersedia dipinangnya. Dia menutup mata akan masa lalu yang dimiliki
Isro. Aku ingat betul Sulastri pernah
menyampaikan padaku “ Setiap orang punya masa lalu, begitupun dengan Mas isro,
dia sudah berjanji kok padaku bahwa akan memperlakukanku dengan baik”
Hari dan bulan terus berganti, tahapan lamaran dan sampai
pada diucapkannya akad pun terlaksana. Ibunda Sulastri sudah pasrah,
kehendaknya dulu harus dibuang jauh-jauh. Keinginan Sulastri sudah sangat bulat
menjadikan Isro pendamping hidupnya. Rabu Legi tepat tanggal
17 September 2010 dilaksanakan seremonial akad nikah, dua hari dua malam
ramainya acara. Aku hadir dihari pertama seharian saat itu. Raut wajah keduanya
seperti pengantin kebanyakan...tampak sumringah, Sulastri dan Isro menggunakan
pakaian pengantin berwarna merah.
Lama setelah acara perayaan dua hari dua malam itu aku sudah
lagi tak bertemu Sulastri, karena dia segera dibawa tinggal kerumah Isro
dikampung yang letaknya disebelah kampungku. Akupun menjalani aktivitasku sehari-hari
menjadi buruh jahit Konveksi di Kota.
Hari ini Sulastri menemuiku, menangis tersedu hampir meraung
sesenggukan
“Aida, aku sudah tak tahan dengan Mas Isro, dia tidak memperlakukanku
dengan baik “
“Semua keinginannya harus
dipenuhi Ai... dia tak memperdulikanku!”
nafasnya tersengal-sengal karena
menahan tangisnya agar tidak sampai meraung.
Aku mempersilahkannya duduk dan
mengambil segelas air putih hangat untuknya.
Kami berdua tak berkata apa-apa, malam itu hening, hanya ada suara air
yang dituang kedalam gelas yang terbuat
dari alumunium.
“minumlah dulu Sul, setelahnya
baru kamu ceritakan kepadaku”
Habis segelas air putih yang
kutuangkan tadi, Sulastri menceritakan kepadaku perihal kebiasaan suaminya Isro berjudi lagi. Sulastri mencoba menasihatinya tapi apa yang didapat makian yang tak selayaknya
disampaikan seorang suami kepada istrinya.
Jika sudah kalap berjudi, dan Sulastri mencoba menasihatinya maka Isro
bertambah naik pitamnya. Barang
didekatnya bisa jadi alat pemukul yang bisa melayang kebadan kecil sahabatku itu.
Aku coba tenang saat mendengar
ceritanya, kendatipun dalam diriku ada rasa marah yang sangat. Kenapa ada lelaki yang tega memperlakukan
wanita yang merupakan istrinya dengan cara seperti itu. Tapi amarah itu tak
kutampakkan sama sekali dihadapan Sulastri.
Aku jadi ingat salah satu syair nasyid
Wanita diibaratkan
kaca yang berdebu, jangan terlalu keras saat membersihkannya
dan... jangan juga
terlalu lembut membersihkannya karena bisa keruh dan ternoda.
Wanita ibarat permata
keindahan yang perlu disentuh hatinya dengan kelembutan, jagalah hatinya dengan kesabaran
Lemah lembutlah
kepadanya tapi jangan memanjakannya tegurlah jika bersalah tapi janganlah lukai hatinya
“Aida, aku lebih baik hidup tidak
bersama Mas Isro saja ... itu lebih baik menurutku...” tambah Sulastri sambil menarik nafasnya dan
tangannya memegang kepalanya, dia tertunduk lesu...
Impiannya buyar, janji indah yang
diucapkan Isro kepadanya tak terwujud...dia kecewa mendalam
Aku hanya bisa menatapnya dan
menyampaikan agar tetap sabar dan menasihatinya untuk tak lupa melibatkan-Nya
dalam pengambilan keputusan besar dalam hidupnya.
Ah, wanita ada saja kisah pilunya, tapi hati harus
sekuat baja, melanjutkan episode hidup dengan selalu berkhusnudzon kepada Sang
Pengatur Skenario kehidupan. Karena yakin sesudah kesulitan akan datang kemudahan....
#OneDayOnePost#Batch5
No comments:
Post a Comment