Saturday, January 27, 2018

Kisah Sulastri di Penghujung Senja






Desa Kalisari Kebumen 21.00 WIB, Aida masih termangu diam tak bergeming, pendar cahaya bulan terlihat dari balik lembar-lembar daun pohon jati yang terletak didepan bagian kanan rumahnya. Suara jangrik saja yang terdengar  dan sayup-sayup suara janengan terdengar dari mikropon yang sudah usang, suaranya gemeresek  

Pembicaraan Aida dengan sahabat sejak kecilnya, Sulastri ba’da magrib tadi masih saja terpikirkan olehnya. Sulastri datang dengan mata sembab dan badan yang tampak letih, jilbab biru yang dipakainya tak rapih, beberapa lembar rambutnya menempel dipipi terlihat keluar, sepertinya dia memakainya dengan terburu-buru.


Sulastri, baru saja membina rumah tangga, biduknya baru seumur jagung kalau orang bilang. Isro, pria yang berasal dari desa sebelah dipilihnya untuk menjadi pasangan hidup.  Kendati ibunda Sulastri pada awalnya tak setuju akan hubungan keduanya.  Mengingat pria tersebut bukan kali pertama menikah. Pernikahan pertamanya mengalami kegagalan dikarenakan perihal KDRT  yang dilakukan kepada pasangannya dulu dan juga hobinya berjudi sabung ayam.

Tapi, entah rayuan macam apa atau puisi karya siapa yang dibacakan Isro kepada Sulastri hingga Sulastri bersedia dipinangnya.  Dia menutup mata akan masa lalu yang dimiliki Isro. Aku ingat betul  Sulastri pernah menyampaikan padaku “ Setiap orang punya masa lalu, begitupun dengan Mas isro, dia sudah berjanji kok padaku bahwa akan memperlakukanku dengan baik”


Hari dan bulan terus berganti, tahapan lamaran dan sampai pada diucapkannya akad pun terlaksana. Ibunda Sulastri sudah pasrah, kehendaknya dulu harus dibuang jauh-jauh. Keinginan Sulastri sudah sangat bulat menjadikan Isro pendamping hidupnya.  Rabu Legi  tepat tanggal  17 September 2010 dilaksanakan seremonial akad nikah, dua hari dua malam ramainya acara. Aku hadir dihari pertama seharian saat itu. Raut wajah keduanya seperti pengantin kebanyakan...tampak sumringah, Sulastri dan Isro menggunakan pakaian pengantin berwarna merah.  

Lama setelah acara perayaan dua hari dua malam itu aku sudah lagi tak bertemu Sulastri, karena dia segera dibawa tinggal kerumah Isro dikampung yang letaknya disebelah kampungku.  Akupun menjalani aktivitasku sehari-hari menjadi  buruh jahit Konveksi di Kota.

Hari ini Sulastri menemuiku, menangis tersedu hampir meraung sesenggukan

“Aida, aku sudah tak tahan dengan Mas Isro, dia tidak memperlakukanku dengan baik “

“Semua keinginannya harus dipenuhi Ai... dia tak memperdulikanku!” 
nafasnya tersengal-sengal karena menahan tangisnya agar tidak sampai meraung. 

Aku mempersilahkannya duduk dan mengambil segelas air putih hangat untuknya.  Kami berdua tak berkata apa-apa, malam itu hening, hanya ada suara air yang dituang kedalam gelas  yang terbuat dari alumunium.

“minumlah dulu Sul, setelahnya baru kamu ceritakan kepadaku”

Habis segelas air putih yang kutuangkan tadi, Sulastri menceritakan kepadaku perihal  kebiasaan suaminya Isro berjudi lagi. Sulastri mencoba menasihatinya tapi apa yang didapat makian yang tak selayaknya disampaikan seorang suami kepada istrinya.

Jika sudah kalap berjudi,  dan Sulastri mencoba menasihatinya maka Isro bertambah naik pitamnya.  Barang didekatnya bisa jadi alat pemukul yang bisa melayang kebadan  kecil sahabatku itu.


Aku coba tenang saat mendengar ceritanya, kendatipun dalam diriku ada rasa marah yang sangat.  Kenapa ada lelaki yang tega memperlakukan wanita yang merupakan istrinya dengan cara seperti itu. Tapi amarah itu tak kutampakkan sama sekali dihadapan Sulastri.  

Aku jadi ingat salah satu syair nasyid 
Wanita diibaratkan kaca yang berdebu, jangan terlalu keras saat membersihkannya 

dan... jangan juga terlalu lembut membersihkannya karena bisa keruh dan ternoda.

Wanita ibarat permata keindahan yang perlu disentuh hatinya dengan  kelembutan, jagalah hatinya dengan kesabaran

Lemah lembutlah kepadanya tapi jangan memanjakannya tegurlah jika bersalah tapi  janganlah lukai hatinya



“Aida, aku lebih baik hidup tidak bersama Mas Isro saja ... itu lebih baik menurutku...” tambah Sulastri sambil menarik nafasnya dan tangannya memegang kepalanya, dia tertunduk lesu...
Impiannya buyar, janji indah yang diucapkan Isro kepadanya tak terwujud...dia kecewa mendalam

Aku hanya bisa menatapnya dan menyampaikan agar tetap sabar dan menasihatinya untuk tak lupa melibatkan-Nya dalam pengambilan keputusan besar dalam hidupnya.

Ah,  wanita ada saja kisah pilunya, tapi hati harus sekuat baja, melanjutkan episode hidup dengan selalu berkhusnudzon kepada Sang Pengatur Skenario kehidupan. Karena yakin sesudah kesulitan akan datang kemudahan....

Sinar bulan sudah tampak lebih temaram, Aida melihat jam yang terletak didekat pintu masuk rumah, tepat dibelakangnya jarum jam hampir mencapai angka 10, saatnya beristirahat dan berharap bisa terbangun disepertiga malam, ada namamu Sulastri didalam doaku...


Tangerang, 27 Januari 2018 
menulis adalah menuangkan khayalan

#OneDayOnePost#Batch5



No comments:

Post a Comment

Realize a real

Jika lamat lamat senja mengantarkan kata perpisahan  Disitulah sebenarnya rindu menjadi satu bersama sendu  Perihalnya tak nya...